twitter


       Ketika seseorang sedang dihadapkan masalah maka pasti dia akan bereaksi. Proses reaksi itu sendiri berkait dengan proses pengambilan keputusan. Tujuannya agar masalah dapat segera diatasi. Bergantung pada derajat masalahnya maka proses pengambilan keputusan pun akan beragam. Semakin berat masalah semakin kompleks pula pemecahannya. Dalam hal ini kemampuan orang tersebut untuk berpikir logis dan berpikir kritis menjadi penting. Bagaimana di dunia bisnis?
      Kemampuan berpikir logis adalah kemampuan memelajari hubungan antara suatu pernyataan dan alasannya. Logika menelaah alasan di balik pernyataan; jika alasannya benar, ia dapat memberi justifikasi bagi kita untuk menerima pernyataan itu. sementara berpikir kritis adalah proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi. Informasi tersebut dapat didapatkan dari hasil pengamatan, pengalaman, akal sehat atau komunikasi (Wikipedia). Misalnya ada pernyataan dari sebagian besar karyawan bahwa di siang hari sehabis makan semua karyawan di perusahaan A malas. Badu adalah karyawan perusahaan A. Maka kesimpulan premisnya ia termasuk karyawan malas di siang hari.
       Pernyataan itu logis dan dapat diterima. Namun ketika manajer berpikir kritis maka pernyataan itu belum tentu bisa segera diterima. Artinya pengetahuan logika saja tidak cukup. Jadi perlu ditelaah apakah karyawan malas karena sehabis makan? Dan di siang hari pula? Kalau begitu mengatasinya adalah dengan cara makannya diubah waktunya ke sore hari. Sementara di siang hari diberi makanan kecil? Tentu saja tidak seperti itu. Kemalasan seseorang bisa dipengaruhi banyak faktor lain, seperti kurangnya perhatian manajer akan kinerja mereka atau beban mereka yang di bawah standar. Dengan kata lain manajer harus bijak menyikapii setiap ada pernyataan.
       Ada masalah maka seharusnya ada pengambilan keputusan untuk mengatasinya. Kembali ke contoh karyawan malas di atas maka pertanyaannya apa yang harus dilakukan manajer. Yang pertama adalah mengamati perilaku karyawan sehabis makan siang. Apakah benar semua karyawan malas kerja. Kemudian ditelaah mengapa malas. Setelah diketahui bahwa ternyata tidak semua karyawan malas. Kalau toh malas bukan semata-mata karena baru makan siang tetapi ada faktor lain yang terlah disebutkan di atas. Namun perilaku malas tentunya tidak bisa dibiarkan karena secara logika saja akan memengaruhi kinerja karyawan dan perusahaan. Dengan demikian dari alur pikir logis dan kritis tadi pihak manajer bisa membuat pendekatan yang sifatnya konseptual plus operasional. Tidak saja untuk jangka pendek tetapi untuk jangka panjang.
     Lalu bagaimana kalau ada kasus sekelompok karyawan tiba-tiba akan menyerang manajer secara fisik ? Dalam keadaan seperti itu, justru tidaklah bijak jika manajer atau stafnya menimbang-nimbang alasan terhadap sebuah kejadian itu. Manajer dan staf satpam sebaiknya bertindak cepat saja untuk mengamankan diri sang manajer. Baru kemudian bisa berpikir secara jernih mengapa sampai ada karyawan berbuat seperti itu. Apakah ada ketidakpuasan terhadap kepemimpinan manajer? Artinya semua keputusan yang akan dibuat harus berdasarkan lingkup dan derajat serta dimensi waktu datangnya masalah. Semakin pendek jangka waktu datangnya dan beratnya masalah semakin mendesak dan cepat pula masalah perlu diatasi. Sebaliknya seperti contoh fenomena karyawan malas di atas seharusnya didekati dengan jangka waktu yang lebih longgar dan luwes. Begitu juga setelah penyerangan karyawan bisa diatasi maka manajer harus berpikir ulang untuk mengubah gaya kepemimpinannya di masa datang. Dengan kata lain tidak harus mendesak atau segera diatasi. Itulah keputusan bijak yang harus dibuat manajer.


Tidak! Saya tidak akan bicara mengenai Perkumpulan Seribu Tangan Cinta yang belum solid itu. Tapi tentu saya berharap Seribu Tangan Cinta (STC) tak kehilangan tangan-tangan Cinta satu per satu. Saya bukan siapa-siapa bagi STC. Bukan inisiator, bukan penggerak, hanya pendukung. Ibaratnya, saya ini bagian dari tim cheerleaders di lapangan basket. Maka selanjutnya, saya tidak akan bicara apa-apa mengenai gundah-gulana yang dialami STC akhir-akhir ini. Saya hanya tersentil dengan jargon dari STC, Berpikir dan Bertindak Benar.
Bagi saya, agak berat memposisikan diri menjadi manusia yang berpikir dan bertindak benar. Saya bahkan meragukan manusia yang mengaku telah berpikir dan bertindak benar.
Ketika tidak melulu benar, kemudian hanya ada salah. Benar atau salah. Apa itu benar? Apa itu salah? Haruskah ada dikotomi benar dan salah dalam pemikiran manusia?
Ilmu agama meyakini ada hal yang benar dan ada hal yang salah. Tuhan itu maha besar. Tiada yang melebihi kebesaran-Nya. Tidak mungkin ciptaan lebih besar dari pencipta. Maka benarlah bahwa Tuhan itu maha besar. Dan salahlah yang menganggap sebaliknya. Tapi, ini adalah masalah keyakinan. Bagi saya, apa yang telah diatur Tuhan dalam firman-Nya, mutlak benar adanya. Kebenaran yang absolut.
Ilmu pasti juga meyakini benar dan salah. Jumlahkan 1 + 1 akan menjadi = 2, tidak pernah ada jawaban lain selain 2. Selain 2 adalah salah. Dan kalau salah, pastilah nanti jadi kalah. Kalah pintar dengan yang menjawab benar. Namanya juga ilmu pasti, jika yang diyakini itu benar, maka mutlaklah ia benar. Pasti benar. Tapi, apakah ilmu pasti juga merupakan kebenaran yang absolut? Ilmu pasti bahkan mempunyai teori relativitas Einstein.
Oleh karena itu, saya menyimpulkan sendiri bahwa manusia tidak akan mampu berpikir dan bertindak benar yang absolut. Apalagi jika dipandang manusia itu sebagai makhluk sosial. Kebenaran dalam kehidupan manusia menjadi relatif karena keberagaman pikir yang ada. Lalu, menurut saya, pantaskah kita untuk mengadili manusia lainnya untuk berpikir dan bertindak benar? Bagaimana jika benar menurut kita tidak sama dengan benar menurut mereka? Pantaskah kita mencap mereka salah jika pemahaman tentang benar salah saja tidak sama?
Maka, saya berhenti untuk menilai apakah pemikiran ataupun tindakan kalian adalah benar atau salah. Kita semua adalah manusia ciptaan Tuhan yang hanya pantas dinilai oleh pencipta kita tersebut.
Lalu bagaimana harus berpikir dan bertindak? Boleh saja kita bilang berpikir dan bertindak benar. Tapi, samakan dahulu pemahaman kita semua tentang kebenaran yang akan kita yakini, sehingga kelak ketika ada friksi, kita bisa tahu apakah itu benar atau salah. Namun, sebelum mampu untuk itu, berpikir saja secara baik, dan bertindak pula yang baik. Sepertinya, relatif juga. Tapi, dengan baik, saya meyakini bahwa kita semua akan baik-baik saja


Suatu sore di Menteng Raya, ada obrolan yang menarik untuk tetap diingat. Sebut saja Si Buya atau Sang Kyai, dengan gayanya yang bersahabat beliau mengingatkan kepada saya soal penampilan, pakaian dan aksesoris lain yang pertama-tama akan selalu dipandang orang dan akan menghasilkan suatu kesan pada diri orang tersebut. Saya masih mencoba mengingatnya, barangkali demikian: Pakaianmu akan menghormatimu (membuatmu tampak terhormat) sebelum dudukmu. Dan Ilmumu akan menghormatimu (membuatmu terhormat) setelah dudukmu.
Saya belum benar-benar mengerti soal kalimat itu. Tapi saya coba mengaitkannya dengan pengalaman hidup saya. Pada masa-masa kuliah yang belum lama berlalu, ada pengalaman yang saya pikir menarik. Pada semester-semester awal kuliah, penampilan saya selalu terlihat lusuh dan kadang benar-benar nampak ‘acak-acakan’ (terkadang gaya itu masih tersisa sampai sekarang). Badan kurus saya balut dengan Kaos oblong apa adanya, jeans belel robek di lutut, jaket cokelat kumal, topi kumal, dan sandal jepit.
Setiap hari tentunya orang-orang yang bertemu saya akan memandang saya dengan beragam persepsi. Persepsi pertama yang banyak muncul dari orang yang pertama kali melihat, barangkali, antara lain gembel, anak nggak keurus, slengean, nggak tahu etika, jorok, dll. Kesan itu bisa jadi tambah kuat ketika orang yang bertemu terlibat perbincangan dengan saya. Atau justru sebaliknya, kesan pertama gugur satu-satu dan muncul persepsi lain yang entah lebih buruk atau lebih baik. Saya belum pernah benar-benar menanyakannya pada teman-teman dan dosen saya saat itu.
Pada akhir semester, saya menghadapi sidang skripsi. Saya berpenampilan berbeda dari sebelumnya. Rambut saya potong rapi, pakaian rapi dengan kemeja lengan panjang hitam bercorak garis silver vertikal, celana panjang hitam, sepatu kulit mulus mengkilap, di leher melingkar dasi silver yang menjuntai hingga ke perut. Di lengan ada jam tangan, datang tepat waktu. Yang hadir tentunya mempunyai kesan awal bahwa, barangkali, saya merupakan orang yang serius, baik, pintar, ‘penurut’, dll. Poin yang bagus untuk memulai presentasi.
Saya presentasikan skripsi saya dengan semaksimal mungkin. Saat sesi tanya-jawab pun saya jawab semaksimal mungkin sesuai dengan pengetahuan yang saya miliki. Dari apa yang saya ungkapkan semakin jelaslah barangkali bagi orang-orang yang saya temui di sana tentang bagaimana dan siapa saya, terutama terkait dengan keilmuan saya. Saya tidak benar-benar tahu bagaimana caranya mereka menilai, tapi huruf A (Bukan ANARKI, tapi NILAI SANGAT BAIK) diberikan kepada saya saat itu juga. Saya berterimakasih untuk itu.
Saya coba kaitkan pengalaman itu dengan pepatah di atas. Rupanya penting juga penampilan/pakaian yang kita kenakan itu. Saya juga jadi ingat kembali dengan kata-kata teman saya  bahwa penampilan bukan yang utama, tapi kesan pertama. Dengan berpenampilan baik, kita akan lebih dipandang baik oleh orang. Akan tetapi, jangan hanya berhenti sampai pada penampilan, kita pun mesti mempunyai ilmu yang baikdan benar untuk lebih mengangkat diri kita di tengah-tengah masyarakat. Apalagi bila ilmu itu benar-benar kita manfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat di sekeliling kita.
Berdasarkan pengalaman dan pepatah itu, sepertinya saya akan mencoba untuk tampil dengan gaya (penampilan) yang baik di tengah-tengah masyarakat, walaupun tidak perlu ada barang mahal yang melekat di tubuh yang penting enak dilihat bagi yang lain. Dan nampaknya saya harus terus mengembangkan ilmu saya bukan hanya untuk kehormatan pribadi, tetapi juga kehormatan keluarga dan masyarakat di sekeliling saya.
Penampilan yang baik, ilmu yang baik, benar dan bermanfaat, saya rasa akan mempermudah jalan hidup saya di tengah-tengah masyarakat dan menuju keridhoan Dia yang telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. Rumusannya yaitu Berpikir Baik, Berbicara Baik, dan Bertindak Baik dengan berdasarkan pada Ilmu yang  Baik dan ‘Benar’.


I. PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu bidang yang patut dikembangkan. Hal ini terbukti dari Thales hingga sekarang, ilmu pengetahuan terus berkembang dan saling melengkapi pemikiran-pemikiran para ilmuwan. Dengan ilmu pengetahuan manusia telah mengubah diri mereka menjadi makhluk yang paling mulia di dunia ini. Dan dengan ilmu pengetahuan pula Tuhan yakin manusia dapat menjaga alam ini dengan baik, sehingga mereka mendapat julukan Khalifatullah fi al-ardh. Akan tetapi pada zaman sekarang ini ilmu pengetahuan telah disalahgunakan, banyak ilmuwan yang tidak memikirkan kemaslahatan alam ini. Kalau kita tinjau lebih dalam lagi ilmuwan pada zaman sekarang penelitiannya tidak langsung terjun ke lapangan akan tetapi lebih banyak dilakukan dalam ruangan ber-AC dengan fasilitas internet mereka menjelajahi dunia maya tanpa tahu dunia sesungguhnya. Sungguh ironis sekali kalau semua ilmuwan seperti ini aktivitas penelitiannya.
Kami merasa mungkin dengan mengkaji kehidupan para tokoh ilmuwan klasik akan dapat membantu semangat para ilmuwan sekarang untuk dapat melakukan penelitian yang sesungguhnya. Penelitian sesungguhnya di sini adalah penelitian yang langsung terjun ke lapangan. Ilmu pengetahuan telah berkembang dari masa ke masa dan telah melahirkan beberapa tokoh ilmuwan yang patut dikaji pemikirannya. Salah satu tokoh ilmuwan itu adalah al-Farabi, ilmuwan Islam yang telah banyak menyumbangkan pemikirannya untuk kemaslahatan alam ini. Dan kami di sini akan mencoba menguraikan konsep pemikiran beliau dalam hal ilmu pengetahuan.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Biografi Al-Farabi
B. Pemikiran Al-Farabi Tentang Ilmu Pengetahuan
C. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
D. Hukum Mempelajari Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
III. PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Farabi
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Turkhan bin al-Uzalagh al-Farabi. Ayahnya adalah seorang jenderal yang memiliki posisi penting di Parsi. Disebut Farabi karena kelahirannya di Farab yang juga disebut Kampung Utrar. Dahulu masuk daerah Iran, akan tetapi sekarang menjadi bagian dari Republik Uzbekistan dalam daerah Turkestan, Rusia.
Abu Nashr al-Farabi lahir pada tahun 258 H/870 M dan wafat pada tahun 339 H/950 M. Sejak dasa warsa terakhir abad ke-13 H/19 M, telah dilakukan banyak usaha untuk menulis biografinya, mengumpulkan karya-karya yang belum diterbitkan, dan menjelaskan berbagai hal yang masih samar di dalam karyanya.
Berbeda dengan kelaziman beberapa sarjana muslim lainnya, al-Farabi tidak menuliskan riwayat hidupnya dan tak seorang pun di antara para pengikutnya merekam kehidupannya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh al-Juzjani untuk gurunya, Ibnu Sina. Oleh karena itu, mengenai kehidupan al-Farabi masih terdapat kesamaran dan beberapa masalah yang masih perlu diteliti dan dituntaskan. Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua periode, yang pertama bermula sejak lahir, masa kanak-kanaknya, masa remajanya sampai ia berusia lima puluh tahun. Telah diyakini bahwa ia lahir sebagai orang Turki, pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa. Ia mempelajari fiqh, hadits dan tafsir al-Qur’an serta ia juga mempelajari bahasa Arab, bahasa Turki, dan Parsi. Ia tidak mengabaikan manfaat yang dapat diperoleh dari studi-studi rasional yang berlangsung pada masa hidupnya, seperti matematika dan filsafat meskipun tampaknya ia tidak berpaling kepada keduanya samapi kemudian. Ketika ia demikian tertarik dengan studi rasional, ia tidak puas dengan apa yang telah diperolehnya di kota kelahirannya. Terdorong oleh keinginan intelektualnya itu, maka ia meninggalkan tanah kelahirannya dan mengembara menuntut ilmu pengetahuan.
Periode kedua kehidupan al-Farabi adalah periode usia tua dan penuh kematangan. Baghdad, sebagai pusat belajar yang terkemuka pada abad ke-4 H/10 M, merupakan tempat pertama yang dikunjunginya, di sana ia berjumpa dengan sarjana dari berbagai bidang, di antaranya para filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika dan untuk beberapa lama ia belajar logika kepada Ibn Yunus. Al-Farabi mukim selama dua puluh tahun di Baghdad dan kemudian tertarik oleh pusat kebudayaan lain di Aleppo. Di sana tempatnya orang-orang brilian, para sarjana, para penyair, ahli bahasa, filosof, dan sarjana-sarjana kenamaan lainnya. Al-Farabi tinggal di kota tersebut, dan merupakan orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan pencari kebenaran. Ia menulis buku-buku dan artikel-artikel dalam suasana gemercik air sungai dan di bawah dedaunan pepohonan yang rindang. Al-Farabi mukim di Syria hingga wafat pada tahun 339 H/950 M. Ibn Usaibi’ah menyebutkan bahwa al-Farabi mengunjungi Mesir menjelang akhir hayatnya. Hal ini sangat mungkin, karena Mesir dan Syria mempunyai hubungan yang erat di sepanjang rentangan sejarah yang cukup panjang dan kehidupan kebudayaan Mesir pada masa Thuluniyyah dan Ikhshyidiyyah memang mempunyai pesona. Al-Farabi mencapai posisi yang sangat terpuji di Istana Saif al-Daulah, sampai-sampai sang raja bersama para pengikut dekatnya mengantarkan jenazahnya ke pemakamannya sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka.
Al-farabi senang terhadap ilmu pengetahuan, menganjurkan eksperimen, dan menolak peramalan dan astrologi. Ia mempercayai sepenuhnya sebab – akibat dan takdir, sehingga ia mengakui adanya sebab-sebab, meskipun terhadap efek-efek yang tak jelas sebabnya. Ia mengangkat akal ke tingkat yang sedemikian suci, sehingga ia terdorong untuk mendamaikannya dengan tradisi sehingga tercapai kesesuaian antara filsafat dan agama.
B. Pemikiran Al-Farabi Tentang Ilmu Pengetahuan
Al-Farabi menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1890 Dieterici menerjemahkan beberapa risalah pendek al-Farabi, umumnya yang berkaitan dengan sains. Bukunya yang merupakan sumbangan terhadap sosiologi adalah Risalah fi Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah yang kemudian diedit dan diterjemahkan oleh Dieterici sebagai Philosophia de Araber dan Der Mustarstaat Von Al-Farabi. Buku penting lain yang diterjemahkan ke berbagai bahasa Barat adalah Musiqi al-Kabir dan Ihsa al-Ulum, sebuah karya ensiklopedis yang kemudian banyak berpengaruh atas penulis Barat.
Bukunya Ihsa al-Ulum merupakan encyclopedia mengenai ilmu akhlak yang terbagi atas lima bagian: 1. bahasa, 2. ilmu hitung, 3. logika, 4. ilmu-ilmu alam (natural sciences), dan 5. politik dan sosial ekonomi (sosio ekonomi). Para ahli fikir mutakhir mengakui, bahwa mereka berhutang budi kepada al-Farabi atas segala yang telah mereka capai di bidang ilmu pengetahuan. Dalam mengambil sesuatu bahan ilmiah dari asalnya al-Farabi memakai jalan peng-alasan yang sangat teliti yang berdasarkan dialektika. Dan ini dilakukan dengan meletakkan qaedah-qaedah umum lalu daripadanya diambil alasan yang diperlukan. Pendapat al-Farabi mengenai wujud Allah dan pengetahuan umum yang bersangkutan dengan Aqlil Awal (first intelegence) dan lainnya diambil kurang lebih dari teori Aristoteles mengenai penciptaan (creation). Tetapi al-Farabi tidak percaya akan kekekalan alam, yang menurut pendapat Aristoteles alam itu adalah kekal. Menurut al-Farabi alam ini mempunyai pangkal dan ujung (awal dan akhir). Selanjutnya al-Farabi percaya pula akan adanya hidup setelah mati; yang menjadi hari pengadilan bagi manusia, yang berakhir mendapat ganjaran baik atau buruk menurut perbuatan mereka di masa hidup di atas bumi. Telah pasti bahwa pendapat al-Farabi ini adalah bawaan dari al-Qur’an dan Hadits. Maka bagi al-Farabi logika bukanlah satu jalan untuk mencapai ma’rifat, tetapi ia adalah alat pencapai ma’rifat. Logika bukanlah jalan untuk mendapatkan hakikat, tetapi ia sendirilah pendapat dari hakikat itu.
Tata kerja akal dalam proses pemikiran (amaliyat al-fikri), menurut al-Farabi meningkat secara bertahap. Akal pada seseorang bayi bersifat potensial (aqlu bil quwwati), yang disebut oleh al-Farabi dengan aqlul-hayuli (material intelect). Aqlul-hayuli itu bersifat pasif (passive intelect), dan mulai bergerak menjadi akal berkarya (aqlu bil-fi’li, actual intellect) setelah menerimakan gambaran bentuk-bentuk (al surah, forms) melalui kodrat indriani (al hassat) maupun kodrat imajinasi (al mutakhayyilat). Ia pun mengolahnya menjadi pengertian-pengertian (al ma’ani, conceptions) dan pada tahap itu ia pun berubah menjadi akal berdaya guna (aqlul-mustafad, acquired intellect). Akal berdaya guna (aqlul-mustafad, acquired intellect) itu sekedar bertindak mengolah, mencari hubungan-hubungan diantara segala pengertian, untuk merekamkan tahu (al’ilm, knowledge) pada perbendaharaan ingatan. Akan tetapi tahu itu sendiri menurut al-Farabi adalah anugerah dari akal giat (aqlul-fa’al, active intellect) yakni kodrat ilahi, sebagai akibat dari kegiatan akal berdayaguna itu. Tahu di dalam perbendaharaan ingatan itu berpangkal pada materi dan bentuk (al madah dan al shurah) yang ditangkap oleh kodrat indriani dari alam luar. Materi itu tidak punya perwujudan tanpa bentuk. Akan tetapi di dalam proses pemikiran (amaliyat alfikri) senantiasa materi itu dipisahkan dengan bentuk hingga diperkirakan perwujudan materi tanpa bentuk, yang oleh al-Farabi disebut dengan al hayuli dan oleh Aristoteles, disebut dengan hyule.
C. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
Al-farabi telah memberikan klasifikasi tentang ilmu pengetahuan dalam tujuh bagian, yaitu: logika, percakapan, matematika, physika, metaphysika, politik, dan ilmu fikhi (jurisprudence). Ketujuh ilmu pengetahuan ini telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu.
Ilmu pengetahuan tentang percakapan, yang dikenal sebagai ilmu al-lisan, dibaginya pula atas tujuh bagian, yaitu: bahasa gramatika, syntax (ilmu tarkib al-kalam), syair, menulis dan membaca. Aturan ilmu bahasa yang melingkupi ketujuh pembagian ini, merupakan tujuh bagian pula, yaitu: ilmu kalimat mufrad, ilmu kalimat yang dihubungkan oleh harf el-jar (proposition), undang-undang tentang penulisan yang benar, undang-undang tentang pembacaan yang betul, dan aturan tentang syair yang baik.
Ilmu logika, diajarkan kepada tingkatan tinggi, bagi orang-orang yang hendak menyediakan dirinya menjadi sarjana. Oleh karena itu, ilmu logika itu lebih dipandang bersifat seni daripada sifatnya sebagai ilmu. Ilmu atau seni logika pada umumnya terdiri sebagai berikut: “Supaya dapat mengoreksi fikiran seseorang, untuk mendapatkan kebenaran”. Logika itu dibagi dalam delapan bagian, dimulainya dengan Catagory dan disudahi dengan syair (poetry).
Orang Arab juga memasukkan ilmu balaghah (rothorika) dan syair menjadi bagian dari ilmu logika. Kemudian setelah diselidiki, ternyata bahwa itu termasuk dalam bagian mantik, maka sekarang ini pembagian ilmu logika menjadi sembilan fasal.
Tentang matematika, al-Farabi membaginya menjadi tujuh bagian, yaitu: arithmatika, geometri, optika, astronomi, musik, hisabaqi (Latin: arte ponderum), dan mekanika.
Metaphysika, ditujukan pada dua jenis pelajaran. Pertama, pengetahuan tentang makhluk dan kedua, contoh-contoh dasar atau filsafat ilmu. Tentang ilmu makhluk, dikatakannya sebagai ilmu yang mempelajari dasar-dasar makhluk yang tidak didasarkan kepada bentuk jasmani atau benda-benda berupa tubuh.
Politik, dikatakannya juga sebagai ilmu sipil, yang menjurus kepada etika dan politika. Filsuf-filusuf Islam, menyalin perkataan Politeia dari bahasa Yunani, dengan perkataan Madani. Arti perkataan ini adalah sipil yang berhubungan dengan kota.
Ilmu agama, dibaginya kepada fikih (Yurisprudence) dan kalam (theology). Ilmu kalam ada dua cabangnya yang kemudian dimasukkan menjadi ilmu agama, adalah pengetahuan baru yang dimasukkan ke dalam Islam.
Klasifikasinya dalam perincian ilmu pengetahuan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ilmu bahasa: syntaksis, gramatika, pengucapan dan tuturan, dan puisi.
2. Logika: pembagian, definisi dan komposisi gagasan-gagasan yang sederhana. Bagian-bagian logika setelah istilah-istilahnya didefinisikan ada lima:
a. Syarat-syarat yang perlu bagi premis-premis yang akan menuju suatu sylogisme untuk ilmu tertentu.
b. Definisi sylogisme yang berguna dan cara untuk menemukan bukti dialektal.
c. Penelitian kesalahan dalam bukti-bukti, penelitian atas hal-hal yang dilewatkan dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam penalaran dan cara-cara untuk mencegahnya.
d. Definisi oratori: sylogisme yang digunakan untuk membawakan pembahasan di depan publik.
e. Studi mengenai puisi, bagaimana harus menyesuaikannya dengan tiap subyek, kesalahan dan ketidaksempurnaannya.
3. Sains persiapan:
a. Aritmetika: praktis teoritis
b. Geometri: praktis teoritis
c. Optika
d. Sains tentang langit: astrologi, gerak dan sosok benda-benda langit.
e. Musik: praktis teoritis
f. Ilmu tentang timbangan.
g. Ilmu membuat alat-alat (pembuatan mesin-mesin dan instrumen-instrumen sederhana untuk digunakan dalam berbagai seni dan sains, seperti astronomi dan musik).
4. Fisika (sains kealaman), metafisika (sains yang berhubungan dengan Tuhan dan prinsip-prinsip benda).
Fisika:
a. Ilmu tentang prinsip-prinsip yang mendasari benda-benda alam.
b. Ilmu tentang sifat dan ciri elemen, dan prinsip yang mengatur kombinasi elemen menjadi benda.
c. Ilmu tentang pembentukan dan kerusakan benda.
d. Ilmu tentang reaksi yang terjadi pada elemen-elemen dalam membentuk ikatan.
e. Ilmu tentang benda-benda ikatan yang terbentuk dari empat elemen dan sifat-sifatnya.
f. Ilmu mineral.
g. Ilmu tumbuhan.
h. Ilmu hewan.
Metafisika:
a. Ilmu tentang hakikat benda.
b. Ilmu tentang prinsip-prinsip sains khusus dan sains pengamatan.
c. Ilmu tentang benda non-jasadi, kualitas-kualitas dan ciri-cirinya yang akhirnya menuju kepada ilmu tentang kebenaran, yaitu mengenai Allah yang salah satu nama-Nya ialah kebenaran(al-Haqq).
5. Ilmu kemasyarakatan:
a. Jurisprudensi
b. Retorik.
D. Hukum Mempelajari Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
Islam mengharuskan setiap pemeluknya untuk berusaha menjadi ilmuwan dalam bidang tertentu sejauh yang dapat mereka capai dalam ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi mereka menemukan sejarah tokoh-tokoh agama, salah satunya adalah al-Farabi yang telah berhasil membuka jalan kepada kunci ilmu pengetahuan, di mana manusia memperoleh keberkahan dan manfaat yang tak ternilai harganya.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan”.
Wahyu pertama yang diterima Nabi dari Allah mengandung perintah, “Bacalah dengan nama Allah”. Perintah ini mewajibkan orang untuk membaca. Artinya pengetahuan harus dicari dan diperoleh demi Allah. Allah tidak saja berada pada awal pengetahuan, Ia juga berada pada akhirnya, menyertai dan memberkati keseluruhan proses belajar. Salah satu sifat Allah yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah alim, yang berarti “Yang memiliki pengetahuan”. Oleh sebab itu, memiliki pengetahuan merupakan suatu sifat ilahi dan mencari pengetahuan merupakan kewajiban bagi yang beriman. Apabila orang-orang yang beriman diwajibkan mewujudkan sifat-sifat Allah dalam keberadaan mereka sendiri, seperti dikatakan oleh sebuah hadis, maka menjadi suatu keharusan bagi semua orang yang percaya akan Allah sebagai sumber segala sesuatu yang ada, untuk mencari dan menyerap dalam wujud mereka sebanyak mungkin sifat-sifat Allah, termasuk dengan sendirinya pengetahuan, sehingga wawasan tentang Yang Kudus menjadi darah daging kehidupan mereka. Sudah jelas, bahwa tidak semua sifat Allah dapat diserap oleh manusia mengingat kodratnya yang tak terbatas dan tak terhingga, tapi setiap manusia pasti dapat memiliki sifat-sifat ilahi sebanyak yang diperlukan untuk pemenuhan dan perealisasian dirinya sendiri. Dan pengetahuanlah yang membedakan manusia dari malaikat dan dari semua makhluk lainnya, dan melalui pengetahuanlah kita dapat mencapai kebenaran.
IV. KESIMPULAN
Abu Nashr Muhammad al-Farabi merupakan salah satu tokoh filosof muslim yang banyak dikenal di dunia Barat dengan sebutan al-Parabius atau guru kedua setelah Aristoteles sebagai guru pertama. Banyak pemikiran-pemikiran al-Farabi yang diambil dari Aristoteles, akan tetapi al-Farabi tidak hanya menerima begitu saja. Beliau dalam menelaah pemikiran Aristoteles selalu dihubungkan dengan al-Qur’an dan Hadist. Seperti pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa dunia ini kekal, tetapi menurut al-Farabi dunia ini tidak akan selamanya kekal. Karena al-Farabi masih mempercayai akan adanya hari kiamat, maka beliau berpendapat bahwa dunia ini tidak akan kekal selamanya. Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu pengetahuan ke dalam tujuh bagian, yaitu: logika, percakapan, matematika, physika, metaphysika, politik, dan ilmu fikhi (jurisprudence). Ketujuh ilmu pengetahuan ini telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu. Al-Farabi juga berpendapat bahwa mempelajari ilmu pengetahuan itu wajib hukumnya. Akan tetapi dalam perkembangannya kajian tentang ilmu pengetahuan dalam Islam semakin rendah, mereka lebih suka mengkaji ilmu fiqh dari pada ilmu pengetahuan. Pada hal semua ilmu pada hakikatnya itu sama kecuali ilmu-ilmu yang dilarang oleh Allah untuk dipelajari.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami paparkan, kami percaya bahwa makalah ini masih jauh dari harapan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang budiman. Sebagai bahan acuan untuk memperbaiki sistematika dari makalah ini baik dari segi penulisannya, isinya, dan referensinya. Dan kami berharap semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.


A. Pendahuluan

Salah satu filosuf yang dianggap sangat berjasa dalam meletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat adalah Aristoteles, yang merupakan murid Plato. Meskipun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan pandangan, tetapi Aristoteles dianggap sebagai murid yang mewarisi pemikiran-pemikiran gurunya, dan dianggap sebagai salah satu tokoh penggerak zaman.
Dia juga dianggap sebagai peletak tonggak dasar dalam sejarah pemikiran Barat. Bahkan Michael H. Hart menilai bahwa Aristoteles adalah seorang filosuf dan ilmuwan terbesar dalam dunia masa lampau. Dia memelopori penyelidikan ihwal logika, memperkaya hampir tiap cabang falsafah dan memberi sumbangsih tak terperikan besarnya terhadap ilmu pengetahuan.[1] Meskipun banyak ide-ide Aristoteles yang tampaknya kini sudah ketinggalan zaman, tetapi yang paling penting dari apa yang pernah dilakukannya adalah pendekatan rasional yang senantiasa melandasi karyanya.
Dia filosof orisinal, dia penyumbang utama dalam tiap
bidang penting falsafah spekulatif, dia menulis tentang etika dan
metafisika, psikologi, ekonomi, teologi, politik, retorika,
keindahan, pendidikan, puisi, adat-istiadat orang terbelakang dan
konstitusi Athena. Salah satu proyek penyelidikannya adalah koleksi
pelbagai negeri yang digunakannya untuk studi bandingan.
Makalah ini berusaha mendeskripsikan pemikiran-pemikiran filsafat Aristoteles sebagai tokoh  yang telah berhasil membentuk dan meletakkan dasar yang paling kokoh bagi pembangunan kebudayaan dan peradaban Barat modern.

B. Riwayat Hidupnya
Dalam teks bahasa Inggris, nama Aristoteles ditulis Aristotle, dan dalam teks Arab biasanya ditulis Aristutulis atau Aristu.[2] Sedangkan dalam tulisan asli Yunani biasanya ditulis ‘Aριστοτέλης. Dia lahir 384 SM di Stagira, sebuah kota koloni di semenanjung Chalcidice, yang berada di wilayah Macedonia, yang terletak di sebelah utara Yunani, atau yang kini menjadi  Yunani Utara.  Dia meninggal tahun 322 SM.[3]
Ayahnya bernama Nichomachus, seorang sahabat dan dokter keluarga Amyntas II, raja Macedonia, ayah raja Philippos, dan kakek Alexandros yang kemudian dikenal dengan nama Alexander Agung. Meskipun telah lama tinggal di Macedonia, tetapi Nichpmachus  adalah orang asli Yunani. Berbeda dari Plato, yang merupakan keturunan bangsawan, Aristoteles berasal dari keluraga menengah.
Sejak kecil, Aristoteles diasuh dan dididik oleh ayahnya sendiri dalam bidang kedokteran. Ayahnya berharap jika besar nanti, Aristoteles dapat menggantikan ayahnya sebagai dokter keluarga raja Macedonia. Namun, harapan ayahnya tidak terwujud, karena sebelum Aristoteles berhasil menamatkan pelajarannya, ayahnya telah meninggal dunia. Meskipun begitu, sanga ayah telah berhasil mewariskan minat yang besar terhadap biologi kepada anaknya yang tampaknya terhadap karyanya di kemudian hari.
Mengenai kisah masa muda Aristoteles, sekurang-kurangnya terdapat dua versi yang saling berbeda satu dengan lainnya. Menurut para pengagumnya, ketika Aristoteles masih berusah sangat muda, yaitu tujuh tahun, ia berangkat ke Athena dan menjadi murid Plato. Menurut mereka, Aristoteles menjadi murid kesayangan Plato selam dua puluh tahun. Mereka yang mengagumi Aristoteles itu tidak pernah mengatakan bahwa dia sangat sembrono dan serampangan.[4] Sedangkan menurut versi lain dikatakan bahwa sepeninggal ayahnya, Aristoteles yang masih muda itu hidup berfoya-foya dan menghambur-hamburkan harta warisan orang tuanya. Ketika harta orang tuanya telah habis dan lenyap, dia mendaftarkan diri sebagai tentara untuk menyambung hidupnya agar tidak mati kelaparan. Menurut versi ini, sesudah mendapat bekal dan modal yang cukup, Aristoteles kemudian kembali ke kota kelahirannya di Stageira dan salama beberapa tahun di sana ia dikenal sebagai seorang dokter muda yang mencoba mempraktikkan segala ilmunya yang ia peroleh dari ayahnya. Pada usia 30 tahun, ia meninggalkan Stageira dan berangkat menuju Athena, lalu mendaftarkan diri menjadi murid Plato. Jika versi ini benar, berarti Aristoteles hanya belajar di Akademia Plato selama delapan tahun, dan bukan 20 tahun. Namun, dalam beberapa rujukan cenderung mendukung pendapat pertama, bahwa Aristoteles belajar di Athena selama 20 tahun,[5] dan bukan delapan tahun seperti pada pendapat kedua.
Selama belajar di Akademia Plato, Aristoteles mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti Matematika, Politik, Etika dan berbagai ilmu pengetahuan lain. Selain itu, ia mempunyai hobi mengumpulkan buku sehingga dalam waktu yang relatif singkat, rumahnya telah menjadi penuh buku, sehingga menyerupai perpustakaan. Tidak heran jika Si maha guru Plato, menyebut rumah Aritoteles sebagai “rumah si tukang baca”.
Aristoteles merupakan salah satu murid Plato yang sangat cepat dikenal karena dia tidak mau sekedar bernaung dibawah keagungan sang guru. Itu pula sebabnya dia dikenal sebagai murid “tukang kecam” dan senang mendebat sang guru yang banyak dihormati oleh banyak muridnya yang lain, kendati kecamannya sering kali tidak relevan, dan menunjukkan ketakfahamannya terhadap ajaran Plato. Namun, jika ditanya mengapa dia mengecam Plato, dia akan menjawab : “Amicus Plato, sed magis amica veritas” yang berarti “Plato kukasihi, tapi aku lebih mengasihi kebenaran.” Oleh karena itu, sebagian pakar berpendapat bahwa hubungan Aristoteles dan Plato sesungguhnya telah retak sejak jauh sebelum menjelang kematian Plato. Oleh sebab itu, Plato tidak menunjuk Aritoteles untuk menjadi penggantinya dalam memimpin Akademia, melainkan menunjuk Speusippos. Hal itu tentu sangat mengecewakan Aristoteles.
Plato meninggal pada 347 SM, dan pada tahun itu juga Aristoteles bersama dengan teman sekelasnya bernama Xenokrates meninggalkan Athena. Mereka berangkat menuju ke pantai Asia Kecil, pertama-tama tinggal di Atarneus, lalu pindah ke Assos kemudian tinggal di Mitylene. Penguasa Atarneus saat itu adalah Hermeias yang adalah alumnus Akademia Plato. Tentu kedatangan Aristoteles dan Xenakrates dismbut gembira oleh Hermeias, bahkan meminta mereka untuk membantu mengajar di sekolah yang telah didirikan oleh Erastos dan Koriskos, dua murid yang dikirim Plato dari Akademia atas permintaan Hermeias. Hubungan mereka sangat akrab, bahkan akhirnya Aristoteles menikah dengan Pythias, yang merupakan anak angkat dan kemenakan Hermeias sendiri. Sepasang insan itu hidup bahagia. Namun, setahun kemuadian yaitu tahun 343 SM negara yang dikuasai Hermeias ditaklukkan oleh tentara Persia dan Hermeias dibawa ke Persia dan dibunuh disana. Akhirnya Aristoteles dan keluarganya menyingkir ke daerah-daerah sekitar dan menetap beberapa waktu di Mitylere atas undangan Theophrastus, sahabatnya semenjak mereka belajar di Akademia Plato.
Di tahun 342 SM Aristoteles menerima undangan khusus dari Philippos, raja Macedonia, agar dia bersedia mendidik putra mahkotanya, Alexandros atau Alexander. Undangan itu dipenuhi. Dia mendidik Alexandros selama dua tahun, dan berhasil mendidik calon pemimpin yang terampil, meski sebelumnya Alexandros dikenal sebagai seorang remaja yang serampangan, mudah tersinggung, mudah marah, dan berbagai perangai buruk lainnya.  Alexndros juga terkesan dengan pendidikan yang diberikan oleh Aristoteles, sehingga meskipun telah  dilantik menjadi pejabata raja pada 340, Alexandros tetap menghoramti Aristoteles sebagaiman menghormati ayahnya sendiri.
Tahun 336 SM Philippos wafat dan digantikan oleh putra mahkota yang sudah dipersiapkan, yaitu Alexadros. Ia menaklukkan Persia dan berbagai tempat lainnya, yang di kemudian hari ternyata merupakan penaklukan dunia. Di saat Alexander berkuasa, Aristoteles kembali ke Athena. Ia kemudian mendirikan sekolah sendiri di Athena, yaitu di lapangan senam yang merupakan bagian dari halaman Kuil Dewa Apollo Lykeios (Dewa Pelindung terhadap serigala). Karena terletak di halam Kuil Lykeios, maka sekolah itu dinamakan Lykeion yang dalam bahasa Latin disebut Lyceum. Sekolah itu kemudian menjadi populer mengalahkan popularitas sekolah Isocrates yang selama ini telah berhasil mendidik para pemimpin Athena, dan berada di urutan kedua setelah Akademia Plato yang saat itu dipimpin oleh Xenakrates yang menggantikan Speusippos.
Aristoteles jatuh sakit dan meninggal dunia pada 322 SM, yang kemungkinan disebabkan oleh pekerjaannya yang tak mengenal batas. Saat meninggal dunia, ia berumum sekitar enam puluh tahun.

C. Karyanya
Menurut catatan sejarah, Plato dan Aristoteles adalah guru dan murid yang merupakan dua tokoh besar dalam sejarah, yang telah berhasil membentuk dan meletakkan dasar yang paling kokoh bagi pembangunan kebudayaan dan peradaban Barat modern. Di sisi lain, meskipun di sana sini terdapat perbedaan—bahkan pertentangan—antara kedua tokoh guru dan murid itu, tetapi keduanya pantas dinobatkan menjadi pahlawan dunia dalam bidang ilmu pengetahuan yang melepaskan dan membebaskan manusia dari belenggu ketaktahuan agara manusia tahu bahwa dia tahu jika mau tahu.
Justin D. Kaptain menulis tentang hal itu sebagai berikut.
To many, Plato represents the lyrical, soaring imagination, while Aristotle represents investigation, prosaic and eartbound. Plato seems inspired and inspiring, while Aristotle seems tied to inflexible system and unrelenting logic. One is a reformer, a prophet, and an artist, the other a comlier, an observer, and an organizer. Plato seems to represent the highest nobility of thought and aspiration; Aritotle seems content to accept and work within the day-to-day limitations of human behaviour ...[6] 
(Bagi banyak orang, Plato menunjukkan seorang yang antusias, dengan imajinasi yang begitu membumbung tinggi, sementara Aristoteles melambangkan penelitian, menjemukan, dan terikat pada bumi. Plato tampak bersembangat dan sanggup membangkitkan semanat, sedangkan Aristoteles tampak terikat pada suatu sistem yang tidak luwes dan logika yang ruwet dan kaku. Yang satu adalah seorang pembaharu, nabi, dan artis, yang lain adalah seorang penyusun, pengamat, danorganisator. Plato tampak melukiskan kemuliaan tertinggi dari pikiran dan aspirasi; sementara Aristoteles kelihatan puas menerima dan bekerja dalam batasan-batasan hari-ke-hari dari perilaku manusia ...)
Salah satu karya Aristoteles yang paling menonjol adalah penelitian ilmiah. Ia melakukan penelitian bidang zoologi, biologi, dan botani ketika ia mernatau ke sekitar pantai Asia Kecil dengan menggunakan segala fasilitas yang disediakan oleh Hermeias bersama dengan Theophrastus. Selain itu, Aristoteles juga melakukan penelitian khusus terhadap konstitusi dan sistem politik dari 158 negara kota (polis) di Yunani.Analisanya terhadap penelitiannya itu merupakan karya besar di bidang politik dan telah meletakkan dasar yang teguh bagi ilmu politik yang disebut Perbanding Pemerintahan dan Politik.
Para cendekiawan di zaman purba mengatakan bahwa karya tulis Aristoteles lebih dari 400 buku. Namun, sebagian besar telah musnah. Dari sekitar 50 buku yang masih ada, hanya sekitar separuhnya yang benar-benar merupakan hasil karya Aristoteles sendiri. Karya Plato begitu indah dan menarik, sementra karya Aristoteles kurang begitu indah dan kurang menarik.
Will Ross Durant membagi karya Aristoteles ke dalam tiga bidang utama[7] yaitu :
1. Karya tulis yang bersifat populer.
2. Karya tulis yang berupa kumpulan data ilmiah.
3. Bahan kuliah.
Selain itu, ada yang membagi karya tulis Aristoteles menjadi lima kelopok[8] yaitu :
1. Kelompok Organon yang terdiri atas :
a. Categoriae (kategori).
b. De Interpretatione ( tentang Penafsira).
c. Analytica Priora (Analitika yang pertama),
d. Analytica Posteriora (Analitika yang terakhir).
e. Topica (Topik).
f. De Sophisticis Elenchis (Cara berdebat kaum sufi).
  Kelompok  kedua terdiri atas :
a. Physica (Fisika) terdiri atas delapan buku.
b. Methapysica (Metafisika) terdiri atas 14 buku.
c. De Caelo (Dunia atas / langit) terdiri atas empat buku.
d. De Generatione er Corruptione (Penjadian dan Pembiasaan) terdiri atas dua buku.
e. Meteorologica (Meteorologi) terdiri atas empat buku.
3. Kelompok Biologi dan Psikologi, terdiri atas :
a. De Partibus Animalium (Bagian Binatang).
b. De Motu Animalium (Tentang Gerak Binatang)
c. De Generatione Animalium (Tentang Kejadian Binatang).
d. De Anima (Tentang jiwa).
e. Parva Naturalia ( Sedikit tentang tata hidup kodrati), yang merupakan kumpulan dari beberapa monografi tentang biopsikologi.
4.Kelmpok empat terdiri atas :
a. Ethica Nicomachea, terdiri atas sepuluh buku.
b. Ethica Eudemia, terdiri atas tujh buku.
c. Politica (Politik), delapan buku.

5. Kelompok lima terdiri atas :
a.Rhetorica (retorika)
b.Poetica (poetika).

D. Filsafat Logika
Mungkin sekali, yang paling penting dari sekian banyak hasil karyanya
adalah penyelidikannya tentang teori logika, dan Aristoteles
dipandang selaku pendiri cabang filosofi yang penting ini. Hal ini
sebetulnya berkat sifat logis dari cara berfikir Aristoteles yang
memungkinkannya mampu mempersembahkan begitu banyak bidang ilmu. Dia punya bakat mengatur cara berfikir, merumuskan kaidah dan jenis-
jenisnya yang kemudian jadi dasar berpikir di banyak bidang ilmu
pengetahuan. Aristoteles tak pernah kejeblos ke dalam rawa-rawa
mistik ataupun ekstrim. Aristoteles senantiasa bersiteguh
mengutarakan pendapat-pendapat praktis. Sudah barang tentu, manusia
namanya, dia juga berbuat kesalahan. Tetapi, sungguh menakjubkan
sekali betapa sedikitnya kesalahan yang dia bikin dalam ensiklopedi
yang begitu luas.
Dasar ajaran Aristoteles tentang logika berdasrkan atas ajaran tentang jalan pikiran (ratio-cinium) dan bukti. Jalan pikiran itu baginya berupa syllogismus (silogisme), yaitu putusan dua yang tersusun sedmikian rupa sehingga melahirkan putusan yang ketiga. Untuk dapat menggunakan syllogismus dengan benar, seseorang harus tahu bena sifat putusan itu.[9]
Silogisme Aristoteles, sebuah perjalanan logika deduktif yang amat panjang sejak 2500 tahun yang silam, sejak Aristoteles dilahirkan  di Stagira 384 SM. Namun, logika ini akan tetap aktual dalam perjalanan manusia mencari makna diri di alam semesta ini, bahkan sesungguhnya silogisme Aristoteleslah yang mendasari prinsip-prinsip Antropik Kosmos (Cosmic Anthropic Principles). Konsep silogisme Aristoteles adalah konsep dasar tatkala kesadaran manusia harus menapak awal melihat fenomena alam semesta dan mulai menganalisa keajaiban kehidupan bumi, kemudian manusia menyadari bahwa dirinya sendiri akan menjadi tiada seperti spesies makhluk hidup lainnya, mortal.
 Silogisme Aristoteles lebih mudah difahami dari persamaan matematika berikut :[10]
jika A = B dan B = C maka A = C 

A
B
C
         

Jika dikaitkan dengan silogisme Aristoteles diatas, maka inilah pertanyaan-pertanyaan abadi tentang kesadaran manusia  :
  1. ika kita harus berkata bahwa kesadaran manusia itu lahir dari kegelapan goa goa awal peradaban manusia, maka adalah logis jika suatu hari kelak kita akan lahir kembali dalam kondisi yang sama, kegelapan di goa awal peradaban. Dalam bentuk silogisme Aristoteles A = B = C. 
  2. 100.000 tahun lalu, dimana kesadaran semesta itu berada? Apakah masih berevolusi dalam diri dalam spesies Homo Erectus?
  3. 10.000 tahun lalu, peradaban manusia lantas muncul dan sampai saat ini, apakah yang sebenarnya terjadi pada 200 milyar sel syaraf spesies manusia? Angka 10,000 tahun adalah tidak sebanding dengan 3 juta tahun atau 4.5 milyar tahun yang silam untuk menyatakan bahwa kesadaran manusia itu baru memulai evolusi. Angka 10,000 tahun lebih tepat kita lihat sebagai fenomena revolusi kesadaran semesta dari munculnya kesadaran manusia.
  4. Sederhananya bandingkan 200 milyar sel syaraf manusia itu dengan sebuah transformator listrik. Jika input transformator adalah fungsi tegangan/arus/frekwensi  listrik A maka outputnya adalah fungsi tegangan/arus/frekwensi B. Sedangkan input dari 200 milyar sel-syaraf kita adalah suatu 'Dimensi Kesadaran Semesta' yang memang kekal eksistensinya melihat 'Masa Depan Semesta' sebagai ouputnya. Fungsi kesadaran manusia adalah untuk melihat Masa Depan Semesta sambil 'bermain-main' di Bumi ini, tetapi bukan untuk mengeksekusi Semesta Kosmos sejauh 13.7 milyar tahun cahaya.  
  5. Kita bertemu di bumi berbangsa-bangsa berbeda bahasa adalah untuk memahami bahwa Bumi tinggal Satu untuk kelak menghadap Sang Pencipta. Pada akhirnya manusia akan faham bahwa Logika Hari Kiamat adalah realitas indahnya Keabadian Kesadaran Semesta, betapapun perbedaan kita dalam bermimpi tentang makna keabadian. 

Fungsi Kesadaran Semesta >>
200 milyar sel-syaraf manusia
>> Fungsi Masa Depan Semesta
   
Fungsi (V,I,f,A)  >>
transformator listrik
>> Fungsi (V,I,f,B)
  
Tatkala kesadaran manusia harus muncul dan tumbuh, maka mulailah kita mencari asal muasal kesadaran itu muncul. Kesadaran kita akan selalu mengarah kepada penyederhanan dan penyederhanaan dari kompleksitas observasi seorang manusia seperti Aristoteles. Solusinya adalah membuat sistematika yang logis dengan cara membuat klasifikasi, inilah cara berfikir logis sang jenius Aristoteles tanpa mikroskop dan tanpa teleskop disampingnya. Kita membayangkan pribadi pribadi  pengamat kosmos seperti Plato, Socrates, atau Aristoteles yang harus berfikir tentang alam semesta tanpa penemuan dasar seperti mikroskop, teleskop, atau mesin cetak Gutenberg, maka hasilnya berupa istilah klasifikasi orisinal mereka  seperti  analytica, dialectica, physica, matematica , scientifica, etica, politica, medica adalah penemuan luar biasa. Lucunya saat kini kita seolah kembali ke cara berfikir ala Aristoteles dimana pada saat ini fitrah manusia millennium mengalami ‘kebuntuan kosmologi’ dalam menyimpulkan angka 13,700,000,000 tahun cahaya. Lantas apa maknanya silogisme Aristoteles 2500 tahun silam dan prinsip antropika millennium dalam memandang kosmos. Jangan jangan Aristoteles-lah yang benar bahwa bumi adalah pusat alam semesta, dan paling tidak kesadaran manusia di bumi adalah satu satunya kesadaran yang pernah ditemukan di alam semesta, jadi barangkali bumi-lah pusat kesadaran kosmos semesta. Karena Sang Pengamat Kosmos cuma Satu adanya di Bumi, Sang Manusia.  Quo Vadis Aristoteles.
Oleh karena itu, logika dapat dimengerti sebagai kerangka atau peralatan teknis yang diperlukan manusia agar penalarannya berjalan dengan tepat. Dasar logika Aristoteles adalah uraian keputusan yang kita temukan dalam bahasa (“the analysis of judgement as found and expressed in human language”).[11] Dalam bahasa moderen, logika Aristoteles dapat dikatakan menggabungkan unsur empiris-induktif dan rasional-deduktif.

E. Filsafat Pengetahuan
Filsafat tentang logika diatas menjadi dasar filsafat pengetahuan. Selain berjasa dalam membangun logika, Aristoteles juga berjasa dalam usahanya untuk menggambarkan tahbapan-tahapan kemajuan pengetahuan manusia. Menurutnya, pengetahuan dimulai dengan tahapan inderawi yang selalu partikular. Tahapan pengetahuan selanjutnya adalah abstraksi menuju pengetahuan akal budi yangbercirikan universal.
Dalam hal ini, filsafat pengetahuan Aristoteles merupakan kebalikan dari filsafat pengetahuan Plato. Dasar filsafat pegetahuan Aristoteles bukanlah intuisi, tetapi abstraksi. Oleh karena itu, benar bila dikatakan bahwa Aristoteles tidak selalu sepaham dengan gurunya sendiri, Plato, bahkan mungkin bertentangan.


F. Filsafat Metafisika
Menurut Aristoteles, Nous atau akal budi merupakan bagian yang paling mulia dalam diri manusia. Oleh karena itu, dalam ajaran Aristoteles, unsur-unsur filsafat ke-Tuhanan bertitik pangkal dariuraian kemampuan akal budi manusia itu. Dalam hal ini Aristoteles mencari dasar uraiannya dalam pengamatan inderawi di dunia yang berubah-ubah. Dia mengamati gerak, dan sampai kepada kesimpulan bahwa ada penggerak. Ia kemudian juga menyimpulkan bahwa ada “yang menggerakkan tanpa digerakkan sendiri”.
Jalan pikiran Aristoteles itu diterapkan oleh Thomas Aquinas dalam “panca marga” (quinque viae) guna menyatakan adanya Tuhan berdasarkan pengalaman dan penalaran filosofis.

G. Pengaruh Pemikirannya
Pengaruh Aristoteles terhadap cara berpikir Barat di belakang hari
sungguh mendalam. Di zaman dulu dan zaman pertengahan, hasil karyanya
diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Latin, Arab, Itali, Perancis,
Ibrani, Jerman dan Inggris. Penulis-penulis Yunani yang muncul
kemudian, begitu pula filosof-filosof Byzantium mempelajari karyanya
dan menaruh kekaguman yang sangat. Perlu juga dicatat, buah
pikirannya banyak membawa pengaruh pada filosof Islam dan berabad-
abad lamanya tulisan-tulisannya mendominir cara berpikir Barat. 
Ibnu
Rusyd (Averroes), mungkin filosof Arab yang paling terkemuka, mencoba
merumuskan suatu perpaduan antara Teologi Islam dengan
rasionalisme Aristoteles. Maimomides, pemikir paling terkemuka
Yahudi abad tengah berhasil mencapai sintesa dengan Yudaisme. Tetapi,
hasil kerja paling gemilang dari perbuatan macam itu adalah Summa
Theologia-nya cendikiawan Nasrani St. Thomas Aquinas. Di luar daftar
ini masih sangat banyak kaum cerdik pandai abad tengah yang
terpengaruh demikian dalamnya oleh pikiran Aristoteles.
Kekaguman orang kepada Aristoteles menjadi begitu melonjak di akhir
abad tengah tatkala keadaan sudah mengarah pada penyembahan berhala.
Dalam keadaan itu tulisan-tulisan Aristoteles lebih merupakan semacam
bungkus intelek yang jitu tempat mempertanyakan problem lebih lanjut
daripada semacam lampu penerang jalan. Aristoteles yang gemar
meneliti dan memikirkan ihwal dirinya tak salah lagi kurang sepakat
dengan sanjungan membabi buta dari generasi berikutnya terhadap
tulisan-tulisannya.
Beberapa ide Aristoteles kelihatan reaksioner diukur dengan kacamata
sekarang. Misalnya, dia mendukung perbudakan karena dianggapnya
sejalan dengan garis hukum alam. Dia percaya kerendahan martabat
wanita ketimbang laki-laki. Kedua ide ini--tentu saja-–mencerminkan
pandangan yang berlaku pada zaman itu. Tetapi, tak kurang pula
banyaknya buah pikiran Aristoteles yang mencengangkan modernnya,
misalnya kalimatnya, “Kemiskinan adalah bapaknya revolusi dan
kejahatan,” dan kalimat “Barangsiapa yang sudah merenungi dalam-dalam
seni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib sesuatu emperium
tergantung pada pendidikan anak-anak mudanya.” (Tentu saja, waktu itu
belum ada sekolah seperti yang kita kenal sekarang).
Di abad-abad belakangan, pengaruh dan reputasi Aristoteles telah
merosot bukan alang kepalang. Namun, ada yang berpikir bahwa pengaruhnya sudah begitu menyerap dan berlangsung begitu lama sehingga saya menyesal tidak bisa menempatkannya lebih tinggi dari tingkat urutan seperti sekarang ini. Tingkat urutannya sekarang ini terutama akibat amat
pentingnya ketiga belas orang yang mendahuluinya dalam urutan.

H. Kesimpulan
Dari uraian pada paragraf-paragraf diatas, dapat disimpulkan bahwa Aristoteles mempunyai dasar-dasar ajaran tentang filsafat yang kemudian banyak berkembang di Barat. Meskipun demikian, ada juga cendekiawan muslim yang terpengaruh oleh pemikiran filsafatnya.
Dalam filsafatnya, Aristoteles bertitik tolak dari apa yang dia amati dalam hidup manusia dan hidup masyarakat. Dari praksis nyata dan data-data, dia kemudian menyimpulkan menjadi suatu theoria yang meliputi segala data pengamatan itu.
Karya Aristoteles yang cukup banyak mencakup berbagai cabang ilmu pengetahuan. Selain mengajarkan tentang filsafat logika, filsafat pengetahuan, dan filsafat metafisika, Aristoteles juga mengajarkan filsafat etika, filsafat negara, filsafat manusia dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa Aristoteles merupakan tokoh yang  luas ilmu pengetahuannya dan merupakan ilmuwan yang pantas mendapatkan acungan jempol.
Wallahu a’lam bi al-shawab.